Judul
Buku : Sejarah Skeptisisme, Jatuh Bangun
Paham Keraguan atas Kebenaran
Karya : Ali Asghari Yazdi
Penerbit
: Sadra Press, 2016
ISBN : 978-602-9261-62-2
Reviewer
: M. Ma’ruf
DINAMIKA PAHAM SKEPTISISME
Sebuah buku yang layak di pertimbangkan oleh
peminat, pelaku dan peneliti tentang paham keraguan. Oleh penulis, dalam
catatan pengantarnya digaris bahwahi bahwa kajian pemikiran Yunani dan Islam
lebih fokus ontologi dan kosmologi. Sedang dalam pemikiran Barat, terutama
dalam sejarah Filsafat Barat, titik fokus pada pendekatan epistemologi-yang dalam
batas tertentu memiliki akar dalam skeptisisme Yunani Kuno.
Paham skeptisisme dalam sejarahnya tumbuh subur di
Barat, pengaruhnya berdampak pada wilayah filsafat, budaya dan juga ilmu
sosial. Penulis setuju dengan Mutahari, bahwa sebagian mayoritas Filsuf Eropa
di era modern memiliki kecenderungan terhadap skeptisisme sebagaimana kaum
sofis Yunani. Paham skeptisisme berlanjut hingga sekarang memiliki sinonim
dengan relativisme. Ada apa dengan skeptisisme dan relatifisme? Bahayakah?
Seperti buku Sadra Press sebelumnya, Akal dan Wahyu,
buku ini pun memiliki posisi senada, yakni tema skeptisisme, relatifisme dan
juga agnotisme berstatus waspada. Kenapa demikian?, karena jelas bertolak
belakang dengan Filsafat Islam yang berpaham realisme dan memiliki komitmen
terhadap iman yag berbobot. Sejauhmana tema-tema tersebut berhasil dipaparkan
dengan baik. Mari kita ikuti review singkatnya.
Kronologi Skeptisisme
Penulis secara runtunt membahas skeptisisme mulai
dari Pyrho yang menyangsikan rasio dan indra. Terkenal dengan pernyataanya, “
Kita tidak harus percaya pada indra ataupun rasio, bahkan tidak boleh
berpendapat dan tidak boleh cenderung pada satu arah serta tidak terpengaruh
pada apapun. Dalam segala hal, tidak boleh mengafirmasi atau menegasi,
melainkan harus mengafirmasi sekaligus mengingkari atau tidak boleh
mengafirmasi tidak pula mengingkari”.
Georgias, seorang skeptis tulen melebihi kaum sofis
lain juga kental mendukung penuh skeptisisme. Terkenal dengan pernyataan
tentang tidakadanya kepastian dan ketidakmungkinan menjangkau relaitas.
Georgias yakin, pengalaman yang beragam berbeda satu sama lain tidak diperoleh
melalui bahasa. Tidak ada sesuatu di luar indra dan rasio, jikapun ada, sesuatu
itu tidak bisa diketahui, dan tidak bisa dipindahkan ke orang lain. Dikatakan
Gerogias, semua orang tidak benar.
Berkebalikan dengan Protagoras, seorang sofis
pluralis relatifis, mengatakan, “ Semua
orang berkata benar. Kebenaran dan ketidakbenaran mengikuti keinginan manusia
serta berpijak pada pandangan masing-masing individu. Manusia adalah tolak ukur
segala sesuatu, karena apa yang menurutmu benar adalah bagimu dan apa yang
menurutku benar adalah benar bagiku; karena aku dan engkau sama-sama manusia”.
Kemudian berlanjut pada era modern muncul
skeptisme ala Decartes- terkenal dengan
kesangsian metodis. Ia percaya bahwa pengetahuan entitas ekternal tidak dapat
di produksi via proposisi ekperimental, kecuali terdapat sejumlah proposisi
yang tidak bisa disangsikan dan sejumlah kepastian afirmatif.
Melalui Cogito er go sum, aku berpikir, maka aku
ada, Decartes sampai pada kemungkinan pengetahuan. Kemudian Decartes terkenal
dengan perkataanya, “ aku ingin ragu dalam segala hal sehingga dapat melihat,
dimana keyakinan itu dapat kuperoleh”.
Diteruskan, “Aku ragu dalam segala, tapi aku tak dapat meragukan satu
hal, bahwa aku sedang ragu, bahwa aku merasa ragu aku tidak dapat meragukanya,
maka keraguan itu ada dan orang ragu itu juga ada, dan itu adalah aku. Karena itu jika di alam ini tidak ada
sesuatu, maka yang ada adalah aku dan keraguanku”. Kemudian Decartes maju tahap
demi tahap, “Aku telah menemukan satu titik. Sekarang Aku menempatkan kakiku
diatas titik ini dan menjadikan pijakan awal dan maju selangkah demi
selangkah”. Kemudian dia fokus pada refleksinya, “ Aku ada, keraguanku juga
ada, apakah jika tidak ada sesuatu, aku dan keraguanku eksis? Ataukah sesuatu
yanng lain juga harus eksis agar aku dan keraguanku juga harus eksis”
Keraguan Decartes ini berlanjut pada pertanyaan
tentang prinsip kausalitas dan relasi sebab akibat benda-benda. Kemudian oleh
David Hume dengan empirismenya melihat dari aspek psikologis dan mental.
“Siapapun bisa saja dengan kekeliruan yang tetap selalu melihat warna hitam dengan putih.” Hume berpandangan
kesangsian memiliki identitas, berisi mental dan pengetahuan. Sedangkan
hubungan yang kita sanksikan hanya kebiasaan dan asosiasi. Sedang peristiwa
hanyalah kebiasaan-kebiasaan yang terbentuk
dalam mental”.
Kesangsian Hume ini selanjutnya dimanfaatkan oleh
Kant pada abad ke 18 dengan membagi pengetahuan rasio metafisis dan rasio
praktis. Dikatakanya, pengetahuan sebagai inti realitas yang melampau yang
tampak tidak bisa dijangkau. Objektifitas tidak akan pernah bisa diketahui oleh
mental. Karena mental adalah kategori aktif dan seluruh peristiwa tidak bisa
secara reaktif terhubung. Karena mental selalu sudah terisi sesuatu sebelumnya
dan komposisi ini merupakan jenis
pengetahuan relatif.
Dampak dari relatifisme dan skeptisisme ini kemudian
masuk hingga ke wilayah budaya. Melalui karya-karya Witgenstein memiliki dua
kecenderungan; positifis dan filsafat analitik (bahasa) dengan penekanan pada
relatifitas bahasa. Persoalan kepastian kemudian banyak tertumpu pada
penelitian dan pengujian individu. Wittgenstein melihat benar dan salah, valid
dan invalid dapat di selidiki bergantung pada mental individu yang mengetahui
dan mempresepsi.
Posisi Penulis
Demikian diantaranya sekilas runtutan cuplikan
pemaparan singkat pandangan skeptis dalam tradisi pemikiran yang berkembang di
barat. Posisi penulis dalam buku ini memberi penekanan pada aspek penting
tradisi metafisika dan kosmologi dalam Islam yang tidak fluktuafif jika
dibanding tradisi Barat yang cenderung pendekatan epistemik dan rumit.
Penulis menenkankan bagaimanapun Islam memandang
bahwa keraguan positif bisa menghantarkan pada iman, dan keraguan negatif dapat
menjebak dalam kubangan politeisme dan kekafiran.
Keraguan yang negatif bisa membuat manusia jatuh
pada kondisi statis dan berlindung di balik keraguan. Hal ini akan menyeret
pada abnormalitas keyakinan dan pemikiran, bahkan membentuk hubungan sosial
abnormal.
Sedangkan keraguan ala Socrates tergolong positif,
karena bisa naik dan melampaui ketidaktahuan dan menggapai pengetahuan tinggi
(hikmah). Akan tetapi oleh Imam Ja’far di beri peringatan, “Siapa yang
mengatakan aku tak tahu, tak akan di tuduh, namun akan menyulut keraguan di
hati orang lain”.
Islam menolak kombinasi antara keraguan dengan iman.
Orang kafir selalu mengikuti hawa nafsu iblis yang di dorong ikhtiar buruknya
bahkan menerima kekuasaanya. Alasan mengikuti iblis diakibatkan karena kondisi
keraguan. Salah satu hikmah Tuhan mengizinkan Iblis mengendalikan manusia
melalui ikhtiar buruknya yaitu untuk membedakan mana yang beriman dan mana yang
ragu.
“Dan tidak ada kekuasaan Iblis terhadap mereka,
melainkan agar Kami dapat membedakan siapa yang beriman kepada akherat dan
siapa yang masih ragu-ragu tentangnya( QS Saba’: 21)
“Dan aku berlawanan dengan hakikat serta tidak
membawa hujjah dan dalil yang pasti kepadamu atas janji bohongku (dan aku hanya
memberikan janji-janji bohong) dan kalian menerima ajakanku (QS: Ibarhim; 22)”.
Dua ayat ini mensinyalir, bahwa kondisi keraguan
memungkinkan menerima kekuasaan iblis. Olehkarena itu iman berlawanan dengan
keraguan. Iman yang dimaksud tentunya berisi pengetahuan. Karena iman dan taqwa
selalu bersanding dengan ilmu dan makrifat. Iman dibangun bukan dengan
keterpaksaan tapi dengan serangkaian ikhtiar pengetahuan dan keyakinan bukan
dengan keraguan dan skeptisisme.
“Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah
akan membukaan jalan keluar baginya, (QS Al-Thalaq: 2) “Jika kalian bertaqwa
kepada Allah akan menjadikan bagi kalian
furqon (bashiroh), (QS al-Furqon:29) “Bertaqwalah kepada Allah, niscaya Allah
akan mengajarkan kalian kebaikan segala urusan, (QS: al-Baqarah;282)”
Salah poin penting dari iman adalah keyakinan pada
yang ghoib. Realitas ghoib ini berlawanan dengan sesuatu yang bisa dilihat
dengan indera. Ghoib memiliki dua bentuk, ghoib relatif tidak butuh iman,
sifatnya tersembunyi dari individu, yang bisa jadi jelas bagi individu yang
lain. Sedang ghoib mutlak, sepertihalnya tuntutan maksud Al-Quran yakni
tersembunyi dari semua orang, jenis ghoib ini membutuhkan iman. Ghoib yang
mutlak harus dicari dengan ikhtiar pengetahuan.
Baik realitas ghoib dalam term Islam maupun realitas
dan objek ekternal dalam istilah filsafat sebenarnya membicarkan hal yang sama,
yakni pengetahuan diluar indera yang
sebenarnya bisa di cerap melalui
akal dan indera.
Seperti yang dicontohkan oleh penulis, meragukan
segala sesuatu ala Decartes tidak bisa dijelaskan kemungkinan riil dan tidak
sebelum memahami konsep dan makna realitas agar dapat menganggap sesuatu itu
riil atau tidak.
Penulis juga menyimpulkan kelemahan dalam Filsafat
Hume, dikatakan seluruh kandungan mental manusia berisi kesan dan ide dari
pengalaman inderawi, akan tetapi untuk mencerap pengetahuan membutuhkan hukum
universal, sedangkan hukum tersebut diperoleh bukan dari pengalaman. Penulis berpendapat proposisi analitis itu berbeda dengan proposisi empiris.
Pada proposisi empiris didasarkan keharmonisan alam
yang sifatnya tidak niscaya karena tidak dapat dibuktikan dengan pengalaman
karena akan berujung pada siklus tak berujung. Olehkarena itu hukum universal tidak bisa disimpulkan dari partikular. Hume
menolak hukum sebab akibat dan kenisayaan karena bukan bersumber dari inderawi.
Sehingga Hume berkesimpulan Tuhan tidak bisa diingkari dan dibuktikan. Inilah
bentuk skeptisisme ala Hume.
Sedang pada Filsafat Kant, penulis menganggap
filsafatnya meratakan jalan bagi skeptis klasik yang sederhana menuju
skeptisisme rumit di era modern. Kant
menolak pengetahuan mental manusia dapat mencerap realitas apadanya. Karena
mental bukan lembaran kosong tapi selalu terlibat pada proses pengetahuan dan
mewajibkan kategori-kategori apriori. Oleh karena itu alam harus sejalan dengan
mental bukan sebaliknya. Alam terlihat tergantung pada kaca mata siapa yang
melihat. Inilah bentuk skeptisisme Kant.
Refleksi
Sebagai kesimpulan, buku ini telah memotret dengan
baik lika liku keraguan dari era klasik
hingga periode Decartes, Hume,Kant sampai pada filsafat analitik. Tapi sayang
sekali, buku ini tidak sempat
menyinggung era posmo dan post sekulerisme. Jika disinggung tentu akan lebih
uptodate dan menarik.
Meksi demikian, hemat kami, penulis telah berhasil
membuat bingkai kronologis, meski tidak
terlalu ensiklopedik sambungan pemikiran antar era skeptisisme, tapi setidaknya
bisa menjadi pengantar untuk melacak secara lebih mendalam bangunan skeptisisme
pada setiap periode tertentu.
Segi lemah dari buku ini, penulis tidak
merefleksikan dan memgkonfrontir dengan pendapat Filsuf Muslim secara spesifik
dan mendetil. Sehingga terkesan jumping pada saat menarik kesimpulan pada
wilayah teologi Islam sebagai pesan untuk para pembaca. Jika saja terdapat
pemaparan secara burhanik antara pelopor Filsuf Skeptis dengan Filsuf Muslim
tentu saja buku ini akan mempunyai bobot lebih. (Ma’ruf)
No comments:
Post a Comment