Bahasa dan Hermeneutika
MENGENAL PERAN BAHASA HERMENEUTIKA TERHADAP
PEMAHAMAN MANUSIA MENURUT HANS-GEORG
GADAMER
Oleh :Yosef Oriol Dampuk
Abstraksi: Bahasa adalah hal yang paling penting
dalam kehidupan manusia. Ia mampu menyatukan manusia dalam berbagai aspek.
Berbahasa memengaruhi kegiatan hermeneutika. Hermeneutika berarti pencarian
teori dari suatu teks, menafsir agar
teks tersebut dapat dipahami. Hermeneutika memerlukan bahasa sebagai
perantara lewat tindakan memahami. Tindakan hermeneutika lebih dikenal dalam
penafsiran kitab suci. Penafsir berusaha memahami teks-teks suci karena
teks-teks suci adalah kata-kata Tuhan yang tidak dapat sepenuhnya dimengerti
oleh manusia. Filsuf yang mengembangkan peran bahasa dalam hermeneutika ialah
Hans-Georg Gadamer. Ia mengemukakan pentingnya hermeneutika dalam menafsir
Kitab Suci. Teori hermeneutika dari filsuf ini menyediakan filsafat bahasa
dalam pemahaman manusia terhadap Kitab Suci.
Kata-kata Kunci: penafsiran, Kitab Suci, tradisi,
pengalaman, pengetahuan, tingkah laku
I. Pendahuluan
Manusia adalah makhluk berbahasa. Bahasa sebagai
sarana dan alat untuk menyampaikan
sesuatu kepada orang lain. Bahasa adalah jalan pemahaman manusia lewat mengenal
dan mengerti tentang sesuatu. Secara ontologis bahwa bahasa bukan diciptakan
oleh manusia sebagai sarana komunikasi dan sarana berpikir melainkan bahasa
dipandang pada hakikatnya sebagai manifestasi dari realitas yang mana manusia
mengaktualisasikan bahasa tersebut dalam kehidupannya. Bahasa mampu mengkaji
pelbagai kenyataan pada manusia.
Pemahaman manusia adalah hal yang urgen terhadap
perkembangan realitas yang berubah dari waktu ke waktu. Pemahaman berkaitan
dengan cara manusia memandang realitas tanpa bergantung dari pandangan
subjektifnya tetapi kenyataan objektifnya yang mengantar manusia untuk bisa
memahami dan mengerti. Selain itu, pengalaman antar pribadi manusia menjadikan
bahasa yang bisa dimengerti satu sama lain tanpa diberi penjelasan yang lebih
lanjut mengenai apa yang dibahasakan. Bahasa hermeneutika menjelaskan tentang
pemahaman dan penafsiran melalui pembentukan pengertian lain sehingga manusia
manusia dapat mengungkapka sesuatu secara lain.
Kecenderungan manusia untuk saling mengerti dalam
bahasa memang sangat dibutuhkan. Bahasa yang umum dan dikenal luas semestinya
diketahui oleh manusia itu sendiri agar semua kata dapat dipahami misalnya kata
“bisa” yang diartikan secara berbeda oleh berbagai pemahaman manusia.
Pemasalahan lain ialah jika para filsuf atau orang yang berpengetahuan tinggi
menggunakan bahasa yang tidak dimengerti dan diketahui oleh orang lain. Pada
dasarnya mereka tidak berbicara apa-apa karena bahasa yang digunakan hanya
dipahami oleh mereka sendiri. Menurut filsuf Hans-Georg Gadamer dikatakan bahwa
pemahaman hanya mungkin dimulai bila beragam pandangan menemukan satu bahasa
umum untuk saling bercakap-cakap dan saling mengerti.[1] Manusia mampu
merefleksikann dan mempertanggungjawabkannya. Dengan kebebasan berbahasa,
manusia atau kemampuan menguasai sebuah bahasa.
Dalam tulisan ini Penulis membatasi unsur pemahaman
manusia secara khusus dalam penafsiran kitab suci atau teks-teks suci.
Penafsiran manusia tentang realitas tertentu misalnya penafsir Kitab Suci (Imam
saat berkotbah) yang berusaha menerjemahkan arti Kitab Suci sehingga dapat
dipahami oleh pendengar dan pembaca. Mereka berusaha menjaga kesetiaan pada pewahyuan Allah yang tertuang
dalam teks-teks suci untuk dapat diterapkan dalam zamannya. Melihat hal ini,
penulis melihat bahwa bahasa hermeneutika sebagai alat pemersatu komunikasi
tidak difungsikan secara baik dan akurat dalam penafsiran Kitab Suci. Penulis
merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam penggunaan bahasa yang baik menurut
pemikiran Hans-Georg Gadamer terhadap pemahaman manusia dan menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.
II. Bahasa dan Hermeneutika
2.1 Pengertian Bahasa dan Hermeneutika
Bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi
(yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvesional
yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.[2]
Bahasa sangat penting dalam usaha berkomunikasi antar pribadi. Bahasa yang
mengandung pikiran dapat menjamin terbukanya otak manusia untuk menyadari dunia
dan dirinya sendiri.[3] Bahasa menjadikan hubungan antar pribadi dapat saling
mengenal dan memahami realitas sekitarnya. Manusia menggunakan bahasa dengan
baik agar suatu hal yang hendak disampaikannya dapat dipahami dengan baik oleh
pendengar. Kesesuaian komunikasi terletak pada penggunaan bahasa yang baik dan
benar. Kecenderungan ini membuat bahasa menjadi hal yang urgen dibicarakan
seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia sendiri.
Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuo
yang berarti mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata atau
hermeneuein yang berarti menafsirkan dan hermeneia yang berarti penafsiran.
Kata Yunani tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang
Yunani yang bertugas untuk menyampaikan berita dari para dewa di gunung Olympus
kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai
sayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Dewa
ini adalah dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian.
Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam
bahasa yang digunakan dalam pendengarnya.[4]
2.2 Bahasa dan Hermeneutika menurut Hans-Georg
Gadamer
2.2.1 Riwayat Hidup
Hans-Georg Gadamer[5]
Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada
tanggal 11 Februari 1900. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang
oleh ayahnya yang berprofesi sebagai profesor kimia di sebuah universitas.
Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan dan ilmu-ilmu humaniora pada
umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer
tidak mendengar perkataan ayahnya. Ia
berpegang teguh pada pendiriannya untuk mendalami filsafat. Tetapi sang ayah
yang tidak merestuinya tidak sempat melihat keberhasilan Gadamer sebagai
seorang filsuf karena sudah meninggal pada tahun 1928
Petualangan intelektual Gadamer pada bidang filsafat
dimulai di Universitas Breslau. Kemudian Gadamer pindah ke Marburg mengikuti
kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat pada
sejumlah filsuf diantaranya Paul Natrop, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann.
Pada tahun 1922, ia berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah
disertasi tentang Plato. Sesudah itu, ia mengikuti kuliah Marin Heidegger di
Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer membuat
Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki doktor
filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen
di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat
Habilitation tentang etika dialektis Plato. Gadamer pun diangkat menjadi dosen
Universitas Marburg. Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer
juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G. W.
F. Hegel, Soren Kierkegaard, F. D. E. Schleiermacher, Wilhelm Ditgly, Edmund
Husserl, dan Karl Jaspers.
Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer
tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian Gadamer tidak
menolak ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para professor dan tenaga pengajar di Jerman supaya
menandatangani pernyataan dukungan
terhadap Hilter. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi professor
di bidang filsafat. Pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig
di Jerman Timur untuk diangkat menjadi guru besar penuh. Setelah selesai Perang
Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni
Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat
keuletannya bekerja sebagai guru besar, ia pun diangkat menjadi dekan fakultas
filsafat, selanjutnya diangkat menjadi rektor universitas. Akan tetapi ia tak
lama memegang jabatan tersebut karena tekanan rezim komunis sehingga membuat
penelitian dipersulit. Gadamer pun pindah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948,
Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Pada tahun 1949, ia menggantikan posisi
Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Ia pensiun di tempat ini pada tahun 1968.
Setelah pensiun, ia sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman dan
beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, ia tetap sering
mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf di
Jerman. Setelah melewati petualangan filosofis yang panjang dan melelahkan, ia
akhirnya meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.
2.2.2 Hubungan Bahasa dan Hermeneutika
Bahasa adalah hal yang paling hakiki dalam kehidupan
ini yang membantu manusia menemukan
dirinya dalam dunia yang terus berubah ini. Bahasa tidak boleh dipikirkan
sebagai hal yang mengalami perubahan. Bahasa harus dipikirkan dan dipahami
sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.[6]
Manusia menggunakan bahasa untuk sebuah tujuan dan arah yang hendak dicapai.
Manusia yang memakai bahasa menyadari penggunaan bahasanya baik bahasa ibu
maupun bahasa umum. Bahasa mengartikan sesuatu lewat kata-kata yang bisa
dipahami dan dimengerti dengan baik. Manusia menangkap arti dan makna kata-kata
dengan tepat sekalipun baru pertama kali dilakukannya. Manusia pun memiliki
kemampuan untuk mencampurkan gaya-gaya bahasa yang berbeda satu sama lain.
Bahasa berarti memahami. Menurut Gadamer, posisi
sentral bahasa dalam hermeneutika ada yang dapat dipahami dengan bahasa.[7]
Pemahaman ini berarti mengerti peristiwa historis yang mengandalkan pemahaman
yang mempertimbangkan aspek waktu, masa lalu dan masa sekarang. Pemahaman juga
berarti penafsiran. Ia mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses holistik
yang terjadi dalam suatu siklus hermeneutik antara bagian-bagian teks dan
pandangan manusia dalam seluruh dimensi personal, historis dan sosial.[8]
Penafsiran menandakan adanya sebuah pemahaman baru yang bisa dilakukan agar
sesuatu yang sebelumnya diketahui oleh subjek. Hal ini pula berdampak pada cara
manusia memandang apa yang sebelumnya sudah manusia ketahui.
Setiap bahasa mempunyai prioritas pada pemahaman.
Pemahaman adalah sebuah proses bahasa.[9] Memahami berarti menginterpretasikan
sesuatu. Manusia berusaha memahami objek dan membentuk pengertian-pengertian
tertentu terhadap objek tersebut. Gadamer menegaskan interpretasi adalah
pencipataan kembali.[10] Memahami adalah menafsirkan pengertian-pengertian yang
terangkum dalam konsep-konsep baru. Dalam hal ini, adanya pertemuan dua
substansi, antara objek dan subjek. Bahasa memahami adalah mediator atau
perantara untuk menjembatani dua substansi tersebut. Memahami sesuatu hanya
mungkin terjadi apabila subjek yang mengenal dibedakan dari objek yang
dipahami.
Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal
dari pemahaman. Hermeneutika sebagai sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia
dipratekkan dalam filologi dan studi-studi kitab suci.[11] Teks-teks yang ada
perlu ditafsir karena tidak jelas bila karya dibaca dan dipahami dalam waktu
yang singkat. Untuk dapat memahami teks, seseorang hermeneutik atau penafsir
selalu memahami realitas dengan titik tolak sekarang yang sesuai dengan data
historis teks-teks suci tersebut. Selain itu, para penafsir kitab suci mencoba
masuk dalam teks asli agar memahami dengan sungguh-sungguh yang sesuai dengan
tujuan dan maksud penulisannya. Jadi hermeneutika merupakan suatu yang
universal, bukan hanya sekedar metode dalam memahami sesuatu dalam pemahaman
manusia.[12]
III. Peran Bahasa Hermeneutika terhadap Pemahaman
Manusia Menurut Hans-Georg Gadamer
3.1 Penafsiran Kitab-kitab Suci dan Tradisi
Tradisi berarti adat kebiasaan turun temurun (dari
nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.[13] Hakikat tradisi
menyangkut proses pewarisan isi materi yang diwariskan dan memerlukan
penafsiran agar maknanya tidak hilang. Tradisi mengandaikan adanya penerusan
yang terjadi dari generasi-generasi berikutnya. Tradisi terjadi dalam hal tertentu
misalnya kehidupan religius yang sangat dihormati oleh masyarakat. Tradisi pun
mengambil bagian penting dalam pengalaman dan pengetahuan manusia. Pengetahuan
manusia menjadi amat penting tatkala mampu mengembangkan dan mempertahankan
tradisi agar sesuai dengan tradisi aslinya. Manusia dapat mengembangkan tradisi
asalkan sesuai dengan aslinya.
Hermeneutika
Alkitab adalah suatu usaha untuk menjelaskan, menginterpretasikan dan
menerjemahkan isi teks. Kitab suci perlu ditafsir agar dapat dipahami umat.
Bahasa membantu manusia memahami Kitab Suci. Kegiatan pemahaman dan tradisi
dijembatani oleh tradisi yang sama. Manusia berusaha mendekati makna dan isi
teks-teks suci karena teks tersebut patut dikenal dan dipahami. Teks-teks suci
akan menyingkapkan maknanya jika subjek memiliki harapan tertentu dari teks
tersebut. Subjek (manusia) akan berusaha untuk mengetahui teks yang dimulai
dari tradisi (pengalaman) yang mengutamakan kekuatan arti dan maknanya. Tradisi
membantu manusia untuk lebih jauh mencari objek yang hendak dikenal.
Tradisi membentuk dan menentukan gambaran manusia
tentang sesuatu. Tradisi membawa teori atau pikiran yang memungkinkan manusia
memahami teks sesuai dengan yang diketahuinya. Dalam hubungannya dengan
tindakan religius, tradisi berisi pemahaman atau pengalaman-pengalaman historis
yang diungkapkan dalam teks-teks suci. Manusia memahami sesuatu karena ada
tradisi yang menentukan prasangka awal. Namun tradisi tidak sepenuhnya
menentukan pemahaman manusia. Ia hanya membantu manusia. Manusia sendiri yang
menentukan pemikiran dan pandangannya sendiri. Hal ini mengakibatkan adanya
pembenturan dan perbedaan antara tradisi dan pemahaman manusia.
3.2 Memahami dan Menerapkan Isi Teks-teks Suci
Memahami dan menerapkan Kitab Suci merupakan
pekerjaan atau tugas pokok dari para pengikut tradisi. Mereka dibekali dengan
pengetahuan dan pengalaman agar dapat memahami dengan baik. Pemahaman
membutuhkan nilai keseragaman antara pengetahuan dan kehendak menafsir. Mereka
berusaha menampilkan bahasa yang koheren dan runtut sesuai dengan makna teks
yang sesungguhnya.
Bahasa yang digunakan dalam penulisan teks-teks suci
mengikuti arus waktu, situasi, dan keadaannya. Gaya bahasa pun diperhatikan
sebagai pelajaran pada masa tersebut. Bahasa yang ditulis adalah hasil refleksi
pengalaman yang bisa dimengerti oleh pembacanya. Bahasa sebagai alat
perantaraan pewahyuan Allah yang terangkum dalam Kitab Suci. Keberadaan bahasa
menunjukkan legalitas pewahyuan Allah. Muncul permasalahan yakni bagaimana
sebuah teks yang memiliki konteks zaman dulu dapat dibaca dan dipahami pada
zaman sekarang. Hal ini disebabkan kemungkinan adanya perbedaan pendapat antara
penulis asli, penafsir, dan pembaca Kitab Suci. Pemahaman seorang penafsir
dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupi berupa tradisi,
kultur, atau pengalaman hidup. Saat
menafsir teks, penafsir menyadari bahwa ia berada pada posisi tertentu yang
memengaruhi pemahamannya. Ia harus bisa menafsir dengan menempatkan diri pada
situasi yang historis dalam pengenalan dan pemahamannya.
Pemahaman selalu melibatkan pengetahuan pembaca
dalam memahami sehingga bisa membatasi pemahaman dalam teks suci. Konsep
pra-pemahaman (pemahaman manusia sebelum memahami sesuatu) dibentuk berdasarkan
pengalaman sosial dan pengalaman historis.[14] Pra pemahaman pun harus ada
ketika ia membaca teks. Prapemahaman pun dipengaruhi oleh tradisi dan
pengalaman penafsir. Ini dilakukan agar adanya kesesuaian antara pesan dan
pemahamnnya. Prapemahaman harus terbuka
untuk dikritisi, direstorasi, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika ia
sadar atau mengetahui bahwa pemahamannya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud
oleh teks yang ditafsir. Hal ini
dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pesan teks.
Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk historis.
Pengalaman sosial menunjukkan dimensi pengenalan objek yang baik dan tepat
sedangkan pengalaman historis menandakan adanya unsur sebab dan akibat, unsur
sejarah dan cerita yang berkembang dan dikaitkan dengan pengalaman manusia.
Penafsiran kitab suci pun turut didasarkan sejauh mana penafsir dengan
kemampuannya mengutarakan maksud teks sesuai dengan dimensi historis dan
sosialnya. Ia berangkat dari kehidupan zaman dahulu dan mengaitkan dengan
pengalaman sekarang.
Pemahaman juga berarti dialog atau persetujuan
bersama. Dialog mengindikasikan kesepakatan bersama yang membicarakan tentang
keterbatasan pemahaman manusia. Pemahaman manusia mempunyai batasnya
berdasarkan kategori pengalaman dan pengenalannya. Dua sisi dalam kehidupan
manusia ialah keterbatasan mengenal dan keterbukaan pada hal lain. Hal ini
terjawab dalam bahasa. Penafsir dapat memahami dengan baik apabila ia mampu
mengaitkan antara tradisi kitab suci dan pra-pemahamannya. Ia pun dengan cepat
memahami karena keterlibatan pra-pemahamannya meski mempunyai keterbatasan
mengenal dan memahami. Ia melakukan dialog untuk membandingkan persamaan dan
perbedaan dalam memahami demi kebenaran mutlak.[15]
Pada zaman sekarang selain melakukan dialog, para
penafsir dituntut untuk mampu manusia menerapkan pesan-pesan teks pada konteks
ruang dan waktu sekarang. Pemahaman tidak hanya berarti memahami ajakan dan
meletakkannya pada otak belaka tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan yang harus disampaikan pada penafsiran bukan makna literal melainkan
makna yang berarti. Pemahaman tidak terfokus pada uraian bahasa lewat kata-kata
tetapi juga terimplementasikan dalam bahasa tingkah laku. Seseorang yang
mengerti sebuah teks jika ia mampu menerapkannya pada situasi-situasi khusus
yang dihadapinya. Ia dapat meyeimbangkan ajaran orthodoksi dan orthopraksi.
Sebuah teks suci akan dianggap ideal dan dihormati apabila adanya keseimbangan
dan kesesuaian antara perkataan dan tingkah laku oleh penafsir dan pembaca.
Pada dasarnya penafsiran dan pemahaman merupakan penerapan dalam tingkah laku.
Namun praktek miskonsepsi pemahaman ini menimbulkan efek negatif pada penafsir
dan pembaca. Lantas istilah subtilitas applicandi diberlakukan yang berarti
hermeneutika berkaitan erat aspek penerapan.[16]
Pemahaman teks Suci menjadi jalan untuk melihat dan
membuka pemikiran-pemikiran baru. Pemahaman menekankan aspek keingintahuan
dengan menginterpretasikan sesuai dengan apa yang dimiliki, dilihat, dan
diperoleh kemudian. Pemahaman juga membentuk sikap kuriosita terhadap hal-hal
yang belum dipahami. Hal ini mengandung konsep pemahaman yang membentuk
keterikatan peristiwa historis yang sesuai. Namun hal ini bergantung pada
pemahaman konteks. Pemahaman teks-teks Suci akan lebih efektif apabila manusia
memahami dalam waktu sekarang, setiap saat, dan berani membandingkan pemikiran
lama dengan pemikiran baru. Manusia memahami tidak hanya mengulangi apa yang
ditulis tetapi juga membentuk pengertiannya dan persetujuan pengertian serta
menganalisis yang sejalan dengan objek tersebut.
3.3 Kelemahan Hermeneutik Hans-Georg Gadamer
Berdasarkan uraian tentang penafsiran kitab suci,
Gadamer secara gamblang tidak melihat situasi yang dialami oleh penafsir zaman
sekarang. Penafsir tentu mempunyai pandangannya masing-masing tentang arti
suatu teks. Dalam hal ini timbulnya unsur subjektivisme penafsiran yang hanya
mengandalkan pengetahuan penafsir. Kelemahan-kelemahan hermeneutika Gadamer[17]
ialah pertama, penerapan teks-teks suci secara langsung pada masalah-masalah
hidup manusia modern bertentangan dengan kenyataan hidup dan Kitab Suci yang
bersifat pluralis dan kompleks. Kitab suci yang bersifat pluralistis menekankan
adanya pemahaman berbeda. Para penafsir tidak melihat substansi yang ditekankan
oleh Kitab Suci. Kedua, penafsiran mengandaikan perspektif historis dan literer
dari kitab suci sehingga adanya kontradiksi, ambiguitas dan perbedaan-perbedaan
tidak diambil dengan serius. Arti simbolis dari suatu teks diabaikan. Para
penafsir cenderung melupakan unsur perbedaan sejarah antara saat penulisan
Kitab Suci dan budaya zaman sekarang. Kelemahan ini menyebabkan unsur
religiositas terhadap tingkah laku tidak diperhatikan lagi. Selain itu, para
penafsir tidak mampu mengaplikasikannya dalam tingkah laku dengan baik sesuai
dengan ajaran Kitab Suci. Ketiga, lemahnya peranan, kreativitas para pengarang
terhadap inspirasi kata demi kata. Para pengarang Kitab Suci tidak melibatkan
dirinya berada bersama kata-kata sehingga kata yang hendak disampaikan tidak
dapat dijelaskan dengan baik. Improvisasi terhadap kata-kata tidak dapat
dilakukan. Padahal dengan melakukan improvisasi, kata-kata dapat dimengerti
dengan baik oleh para pendengar. Para pendengar pun akan cepat bosan dengan
kata-kata yang selalu bernada sama.
IV. Penutup
Bahasa hermeneutika sebagai bahasa pemahaman manusia
telah mengambil peran yang sangat penting dalam perkembangan bahasa manusia.
Kecenderungan manusia untuk mengerti tentang sesuatu adalah modal baik demi
kelancaran berkomunikasi antar sesama manusia. Manusia berusaha untuk mengerti
sesuatu yang belum dikenalnya lewat bahasa. Bahasa hermeneutika menurut
Hans-Georg Gadamer sebagai pedoman pemahaman yang sangat relevan dengan
kenyataan pemahaman manusia. Ia secara tegas pentingnya pemahaman tentang
sesuatu yang masih tergambar belum jelas oleh manusia.
Pemahaman Gadamer turut membantu dalam usaha
memahami Kitab Suci. Kitab suci sebagai sabda Tuhan tidak serta merta diketahui
oleh pembaca. Oleh karena itu ia memerlukan penafsir yang dapat menafsir dengan
baik dan sesuai dengan maksud Kitab tersebut. Kitab Suci dapat dipahami lewat
berbagai hal, tidak hanya diketahui lewat pemahaman kata-kata tetapi juga dalam
tindakan ajakan kitab tersebut. Dengan demikian teks-teks suci dapat dipahami
dengan baik lewat bahasa hermeneutika menurut Gadamer.
No comments:
Post a Comment