Monday, May 17, 2021

BAHASA DAN HERMENEUTIKA

 Bahasa dan Hermeneutika

MENGENAL PERAN BAHASA HERMENEUTIKA TERHADAP PEMAHAMAN MANUSIA  MENURUT HANS-GEORG GADAMER

Oleh :Yosef Oriol Dampuk

Abstraksi: Bahasa adalah hal yang paling penting dalam kehidupan manusia. Ia mampu menyatukan manusia dalam berbagai aspek. Berbahasa memengaruhi kegiatan hermeneutika. Hermeneutika berarti pencarian teori dari suatu teks, menafsir agar  teks tersebut dapat dipahami. Hermeneutika memerlukan bahasa sebagai perantara lewat tindakan memahami. Tindakan hermeneutika lebih dikenal dalam penafsiran kitab suci. Penafsir berusaha memahami teks-teks suci karena teks-teks suci adalah kata-kata Tuhan yang tidak dapat sepenuhnya dimengerti oleh manusia. Filsuf yang mengembangkan peran bahasa dalam hermeneutika ialah Hans-Georg Gadamer. Ia mengemukakan pentingnya hermeneutika dalam menafsir Kitab Suci. Teori hermeneutika dari filsuf ini menyediakan filsafat bahasa dalam pemahaman manusia terhadap Kitab Suci.

Kata-kata Kunci: penafsiran, Kitab Suci, tradisi, pengalaman, pengetahuan, tingkah laku

I. Pendahuluan

Manusia adalah makhluk berbahasa. Bahasa sebagai sarana dan alat untuk  menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Bahasa adalah jalan pemahaman manusia lewat mengenal dan mengerti tentang sesuatu. Secara ontologis bahwa bahasa bukan diciptakan oleh manusia sebagai sarana komunikasi dan sarana berpikir melainkan bahasa dipandang pada hakikatnya sebagai manifestasi dari realitas yang mana manusia mengaktualisasikan bahasa tersebut dalam kehidupannya. Bahasa mampu mengkaji pelbagai kenyataan pada manusia.

Pemahaman manusia adalah hal yang urgen terhadap perkembangan realitas yang berubah dari waktu ke waktu. Pemahaman berkaitan dengan cara manusia memandang realitas tanpa bergantung dari pandangan subjektifnya tetapi kenyataan objektifnya yang mengantar manusia untuk bisa memahami dan mengerti. Selain itu, pengalaman antar pribadi manusia menjadikan bahasa yang bisa dimengerti satu sama lain tanpa diberi penjelasan yang lebih lanjut mengenai apa yang dibahasakan. Bahasa hermeneutika menjelaskan tentang pemahaman dan penafsiran melalui pembentukan pengertian lain sehingga manusia manusia dapat mengungkapka sesuatu secara lain.

Kecenderungan manusia untuk saling mengerti dalam bahasa memang sangat dibutuhkan. Bahasa yang umum dan dikenal luas semestinya diketahui oleh manusia itu sendiri agar semua kata dapat dipahami misalnya kata “bisa” yang diartikan secara berbeda oleh berbagai pemahaman manusia. Pemasalahan lain ialah jika para filsuf atau orang yang berpengetahuan tinggi menggunakan bahasa yang tidak dimengerti dan diketahui oleh orang lain. Pada dasarnya mereka tidak berbicara apa-apa karena bahasa yang digunakan hanya dipahami oleh mereka sendiri. Menurut filsuf Hans-Georg Gadamer dikatakan bahwa pemahaman hanya mungkin dimulai bila beragam pandangan menemukan satu bahasa umum untuk saling bercakap-cakap dan saling mengerti.[1] Manusia mampu merefleksikann dan mempertanggungjawabkannya. Dengan kebebasan berbahasa, manusia atau kemampuan menguasai sebuah bahasa.

Dalam tulisan ini Penulis membatasi unsur pemahaman manusia secara khusus dalam penafsiran kitab suci atau teks-teks suci. Penafsiran manusia tentang realitas tertentu misalnya penafsir Kitab Suci (Imam saat berkotbah) yang berusaha menerjemahkan arti Kitab Suci sehingga dapat dipahami oleh pendengar dan pembaca. Mereka berusaha menjaga  kesetiaan pada pewahyuan Allah yang tertuang dalam teks-teks suci untuk dapat diterapkan dalam zamannya. Melihat hal ini, penulis melihat bahwa bahasa hermeneutika sebagai alat pemersatu komunikasi tidak difungsikan secara baik dan akurat dalam penafsiran Kitab Suci. Penulis merasa perlu untuk mengkaji lebih dalam penggunaan bahasa yang baik menurut pemikiran Hans-Georg Gadamer terhadap pemahaman manusia  dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

II. Bahasa dan Hermeneutika

2.1 Pengertian Bahasa dan Hermeneutika

Bahasa adalah sistem lambang bunyi berartikulasi (yang dihasilkan alat-alat ucap) yang bersifat sewenang-wenang dan konvesional yang dipakai sebagai alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran.[2] Bahasa sangat penting dalam usaha berkomunikasi antar pribadi. Bahasa yang mengandung pikiran dapat menjamin terbukanya otak manusia untuk menyadari dunia dan dirinya sendiri.[3] Bahasa menjadikan hubungan antar pribadi dapat saling mengenal dan memahami realitas sekitarnya. Manusia menggunakan bahasa dengan baik agar suatu hal yang hendak disampaikannya dapat dipahami dengan baik oleh pendengar. Kesesuaian komunikasi terletak pada penggunaan bahasa yang baik dan benar. Kecenderungan ini membuat bahasa menjadi hal yang urgen dibicarakan seiring dengan perkembangan budaya dan pemikiran manusia sendiri.

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani hermeneuo yang berarti mengungkapkan pikiran-pikiran seseorang dalam kata-kata atau hermeneuein yang berarti menafsirkan dan hermeneia yang berarti penafsiran. Kata Yunani tersebut berhubungan dengan dewa Hermes, dewa dalam mitos orang Yunani yang bertugas untuk menyampaikan berita dari para dewa di gunung Olympus kepada manusia. Sosok Hermes digambarkan sebagai seseorang yang mempunyai sayap. Dalam bahasa Latin, sosok ini lebih dikenal dengan nama Mercurius. Dewa ini adalah dewa ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian. Hermes harus mampu menginterpretasikan atau menyadur sebuah pesan ke dalam bahasa yang digunakan dalam pendengarnya.[4]

2.2 Bahasa dan Hermeneutika menurut Hans-Georg Gadamer

2.2.1 Riwayat Hidup  Hans-Georg Gadamer[5]

Hans-Georg Gadamer dilahirkan di kota Breslau pada tanggal 11 Februari 1900. Ketertarikan Gadamer pada filsafat sempat ditentang oleh ayahnya yang berprofesi sebagai profesor kimia di sebuah universitas. Menurut ayah Gadamer, filsafat, kesusastraan dan ilmu-ilmu humaniora pada umumnya bukan merupakan ilmu pengetahuan yang serius. Akan tetapi, Gadamer tidak  mendengar perkataan ayahnya. Ia berpegang teguh pada pendiriannya untuk mendalami filsafat. Tetapi sang ayah yang tidak merestuinya tidak sempat melihat keberhasilan Gadamer sebagai seorang filsuf karena sudah meninggal pada tahun 1928

Petualangan intelektual Gadamer pada bidang filsafat dimulai di Universitas Breslau. Kemudian Gadamer pindah ke Marburg mengikuti kepindahan ayahnya ke kota tersebut. Di kota ini, Gadamer belajar filsafat pada sejumlah filsuf diantaranya Paul Natrop, Nicolai Hartmann, dan Rudolf Bultmann. Pada tahun 1922, ia berhasil meraih gelar doktor filsafat dengan sebuah disertasi tentang Plato. Sesudah itu, ia mengikuti kuliah Marin Heidegger di Freiburg. Pada tahun 1927, Heidegger mengusulkan kepada Gadamer membuat Habilitation. Dalam sistem akademis di Jerman, orang yang sudah memiliki doktor filsafat harus membuat tulisan Habilitation sebelum bisa diangkat sebagai dosen di universitas. Di bawah bimbingan Heidegger, akhirnya Gadamer berhasil membuat Habilitation tentang etika dialektis Plato. Gadamer pun diangkat menjadi dosen Universitas Marburg. Selain dipengaruhi oleh beberapa filsuf tersebut, Gadamer juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles, Immanuel Kant, G. W. F. Hegel, Soren Kierkegaard, F. D. E. Schleiermacher, Wilhelm Ditgly, Edmund Husserl,  dan Karl Jaspers.

Pada periode nasional-sosialisme Hitler, Gadamer tidak melibatkan diri dalam kancah politik. Walaupun demikian Gadamer tidak menolak ketika pada tahun 1933 muncul anjuran kepada para professor  dan tenaga pengajar di Jerman supaya menandatangani  pernyataan dukungan terhadap Hilter. Akhirnya, pada tahun 1936, Gadamer diangkat menjadi professor di bidang filsafat. Pada tahun 1939, Gadamer dipanggil ke Universitas Leipzig di Jerman Timur untuk diangkat menjadi guru besar penuh. Setelah selesai Perang Dunia II (1945), kota Leipzig termasuk wilayah yang ada di bawah pengawasan Uni Soviet dan dimasukkan ke dalam wilayah Jerman Timur yang komunis. Berkat keuletannya bekerja sebagai guru besar, ia pun diangkat menjadi dekan fakultas filsafat, selanjutnya diangkat menjadi rektor universitas. Akan tetapi ia tak lama memegang jabatan tersebut karena tekanan rezim komunis sehingga membuat penelitian dipersulit. Gadamer pun pindah ke Jerman Barat. Pada tahun 1948, Gadamer bekerja di Frankfurt am Main. Pada tahun 1949, ia menggantikan posisi Karl Jaspers di Universitas Heidelberg. Ia pensiun di tempat ini pada tahun 1968. Setelah pensiun, ia sering mengisi ceramah di Amerika Serikat, Jerman dan beberapa tempat lain. Walaupun telah memasuki usia lanjut, ia tetap sering mengikuti diskusi-diskusi filosofis dan termasuk salah seorang filsuf di Jerman. Setelah melewati petualangan filosofis yang panjang dan melelahkan, ia akhirnya meninggal di kota Heidelberg pada 13 Maret 2002 di usia 102 tahun.

2.2.2 Hubungan Bahasa dan Hermeneutika

Bahasa adalah hal yang paling hakiki dalam kehidupan ini yang  membantu manusia menemukan dirinya dalam dunia yang terus berubah ini. Bahasa tidak boleh dipikirkan sebagai hal yang mengalami perubahan. Bahasa harus dipikirkan dan dipahami sebagai sesuatu yang memiliki ketertujuan (teleologi) di dalam dirinya.[6] Manusia menggunakan bahasa untuk sebuah tujuan dan arah yang hendak dicapai. Manusia yang memakai bahasa menyadari penggunaan bahasanya baik bahasa ibu maupun bahasa umum. Bahasa mengartikan sesuatu lewat kata-kata yang bisa dipahami dan dimengerti dengan baik. Manusia menangkap arti dan makna kata-kata dengan tepat sekalipun baru pertama kali dilakukannya. Manusia pun memiliki kemampuan untuk mencampurkan gaya-gaya bahasa yang berbeda satu sama lain.

Bahasa berarti memahami. Menurut Gadamer, posisi sentral bahasa dalam hermeneutika ada yang dapat dipahami dengan bahasa.[7] Pemahaman ini berarti mengerti peristiwa historis yang mengandalkan pemahaman yang mempertimbangkan aspek waktu, masa lalu dan masa sekarang. Pemahaman juga berarti penafsiran. Ia mengatakan bahwa pemahaman merupakan proses holistik yang terjadi dalam suatu siklus hermeneutik antara bagian-bagian teks dan pandangan manusia dalam seluruh dimensi personal, historis dan sosial.[8] Penafsiran menandakan adanya sebuah pemahaman baru yang bisa dilakukan agar sesuatu yang sebelumnya diketahui oleh subjek. Hal ini pula berdampak pada cara manusia memandang apa yang sebelumnya sudah manusia ketahui.

Setiap bahasa mempunyai prioritas pada pemahaman. Pemahaman adalah sebuah proses bahasa.[9] Memahami berarti menginterpretasikan sesuatu. Manusia berusaha memahami objek dan membentuk pengertian-pengertian tertentu terhadap objek tersebut. Gadamer menegaskan interpretasi adalah pencipataan kembali.[10] Memahami adalah menafsirkan pengertian-pengertian yang terangkum dalam konsep-konsep baru. Dalam hal ini, adanya pertemuan dua substansi, antara objek dan subjek. Bahasa memahami adalah mediator atau perantara untuk menjembatani dua substansi tersebut. Memahami sesuatu hanya mungkin terjadi apabila subjek yang mengenal dibedakan dari objek yang dipahami.

Keberadaan hermeneutika dalam bahasa merupakan awal dari pemahaman. Hermeneutika sebagai sebuah sistem baru muncul jauh setelah ia dipratekkan dalam filologi dan studi-studi kitab suci.[11] Teks-teks yang ada perlu ditafsir karena tidak jelas bila karya dibaca dan dipahami dalam waktu yang singkat. Untuk dapat memahami teks, seseorang hermeneutik atau penafsir selalu memahami realitas dengan titik tolak sekarang yang sesuai dengan data historis teks-teks suci tersebut. Selain itu, para penafsir kitab suci mencoba masuk dalam teks asli agar memahami dengan sungguh-sungguh yang sesuai dengan tujuan dan maksud penulisannya. Jadi hermeneutika merupakan suatu yang universal, bukan hanya sekedar metode dalam memahami sesuatu dalam pemahaman manusia.[12]

 

III. Peran Bahasa Hermeneutika terhadap Pemahaman Manusia Menurut Hans-Georg Gadamer

3.1 Penafsiran Kitab-kitab Suci dan Tradisi

Tradisi berarti adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan dalam masyarakat.[13] Hakikat tradisi menyangkut proses pewarisan isi materi yang diwariskan dan memerlukan penafsiran agar maknanya tidak hilang. Tradisi mengandaikan adanya penerusan yang terjadi dari generasi-generasi berikutnya. Tradisi terjadi dalam hal tertentu misalnya kehidupan religius yang sangat dihormati oleh masyarakat. Tradisi pun mengambil bagian penting dalam pengalaman dan pengetahuan manusia. Pengetahuan manusia menjadi amat penting tatkala mampu mengembangkan dan mempertahankan tradisi agar sesuai dengan tradisi aslinya. Manusia dapat mengembangkan tradisi asalkan sesuai dengan aslinya.

Hermeneutika  Alkitab adalah suatu usaha untuk menjelaskan, menginterpretasikan dan menerjemahkan isi teks. Kitab suci perlu ditafsir agar dapat dipahami umat. Bahasa membantu manusia memahami Kitab Suci. Kegiatan pemahaman dan tradisi dijembatani oleh tradisi yang sama. Manusia berusaha mendekati makna dan isi teks-teks suci karena teks tersebut patut dikenal dan dipahami. Teks-teks suci akan menyingkapkan maknanya jika subjek memiliki harapan tertentu dari teks tersebut. Subjek (manusia) akan berusaha untuk mengetahui teks yang dimulai dari tradisi (pengalaman) yang mengutamakan kekuatan arti dan maknanya. Tradisi membantu manusia untuk lebih jauh mencari objek yang hendak dikenal.

Tradisi membentuk dan menentukan gambaran manusia tentang sesuatu. Tradisi membawa teori atau pikiran yang memungkinkan manusia memahami teks sesuai dengan yang diketahuinya. Dalam hubungannya dengan tindakan religius, tradisi berisi pemahaman atau pengalaman-pengalaman historis yang diungkapkan dalam teks-teks suci. Manusia memahami sesuatu karena ada tradisi yang menentukan prasangka awal. Namun tradisi tidak sepenuhnya menentukan pemahaman manusia. Ia hanya membantu manusia. Manusia sendiri yang menentukan pemikiran dan pandangannya sendiri. Hal ini mengakibatkan adanya pembenturan dan perbedaan antara tradisi dan pemahaman manusia.

 

3.2 Memahami dan Menerapkan Isi Teks-teks Suci

Memahami dan menerapkan Kitab Suci merupakan pekerjaan atau tugas pokok dari para pengikut tradisi. Mereka dibekali dengan pengetahuan dan pengalaman agar dapat memahami dengan baik. Pemahaman membutuhkan nilai keseragaman antara pengetahuan dan kehendak menafsir. Mereka berusaha menampilkan bahasa yang koheren dan runtut sesuai dengan makna teks yang sesungguhnya.

Bahasa yang digunakan dalam penulisan teks-teks suci mengikuti arus waktu, situasi, dan keadaannya. Gaya bahasa pun diperhatikan sebagai pelajaran pada masa tersebut. Bahasa yang ditulis adalah hasil refleksi pengalaman yang bisa dimengerti oleh pembacanya. Bahasa sebagai alat perantaraan pewahyuan Allah yang terangkum dalam Kitab Suci. Keberadaan bahasa menunjukkan legalitas pewahyuan Allah. Muncul permasalahan yakni bagaimana sebuah teks yang memiliki konteks zaman dulu dapat dibaca dan dipahami pada zaman sekarang. Hal ini disebabkan kemungkinan adanya perbedaan pendapat antara penulis asli, penafsir, dan pembaca Kitab Suci. Pemahaman seorang penafsir dipengaruhi oleh situasi hermeneutik tertentu yang melingkupi berupa tradisi, kultur, atau pengalaman hidup.  Saat menafsir teks, penafsir menyadari bahwa ia berada pada posisi tertentu yang memengaruhi pemahamannya. Ia harus bisa menafsir dengan menempatkan diri pada situasi yang historis dalam pengenalan dan pemahamannya.

Pemahaman selalu melibatkan pengetahuan pembaca dalam memahami sehingga bisa membatasi pemahaman dalam teks suci. Konsep pra-pemahaman (pemahaman manusia sebelum memahami sesuatu) dibentuk berdasarkan pengalaman sosial dan pengalaman historis.[14] Pra pemahaman pun harus ada ketika ia membaca teks. Prapemahaman pun dipengaruhi oleh tradisi dan pengalaman penafsir. Ini dilakukan agar adanya kesesuaian antara pesan dan pemahamnnya.  Prapemahaman harus terbuka untuk dikritisi, direstorasi, dan dikoreksi oleh penafsir itu sendiri ketika ia sadar atau mengetahui bahwa pemahamannya tidak sesuai dengan apa yang dimaksud oleh teks yang ditafsir.  Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kesalahpahaman terhadap pesan teks.

Manusia adalah makhluk sosial dan makhluk historis. Pengalaman sosial menunjukkan dimensi pengenalan objek yang baik dan tepat sedangkan pengalaman historis menandakan adanya unsur sebab dan akibat, unsur sejarah dan cerita yang berkembang dan dikaitkan dengan pengalaman manusia. Penafsiran kitab suci pun turut didasarkan sejauh mana penafsir dengan kemampuannya mengutarakan maksud teks sesuai dengan dimensi historis dan sosialnya. Ia berangkat dari kehidupan zaman dahulu dan mengaitkan dengan pengalaman sekarang.

Pemahaman juga berarti dialog atau persetujuan bersama. Dialog mengindikasikan kesepakatan bersama yang membicarakan tentang keterbatasan pemahaman manusia. Pemahaman manusia mempunyai batasnya berdasarkan kategori pengalaman dan pengenalannya. Dua sisi dalam kehidupan manusia ialah keterbatasan mengenal dan keterbukaan pada hal lain. Hal ini terjawab dalam bahasa. Penafsir dapat memahami dengan baik apabila ia mampu mengaitkan antara tradisi kitab suci dan pra-pemahamannya. Ia pun dengan cepat memahami karena keterlibatan pra-pemahamannya meski mempunyai keterbatasan mengenal dan memahami. Ia melakukan dialog untuk membandingkan persamaan dan perbedaan dalam memahami demi kebenaran mutlak.[15]

Pada zaman sekarang selain melakukan dialog, para penafsir dituntut untuk mampu manusia menerapkan pesan-pesan teks pada konteks ruang dan waktu sekarang. Pemahaman tidak hanya berarti memahami ajakan dan meletakkannya pada otak belaka tetapi juga menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pesan yang harus disampaikan pada penafsiran bukan makna literal melainkan makna yang berarti. Pemahaman tidak terfokus pada uraian bahasa lewat kata-kata tetapi juga terimplementasikan dalam bahasa tingkah laku. Seseorang yang mengerti sebuah teks jika ia mampu menerapkannya pada situasi-situasi khusus yang dihadapinya. Ia dapat meyeimbangkan ajaran orthodoksi dan orthopraksi. Sebuah teks suci akan dianggap ideal dan dihormati apabila adanya keseimbangan dan kesesuaian antara perkataan dan tingkah laku oleh penafsir dan pembaca. Pada dasarnya penafsiran dan pemahaman merupakan penerapan dalam tingkah laku. Namun praktek miskonsepsi pemahaman ini menimbulkan efek negatif pada penafsir dan pembaca. Lantas istilah subtilitas applicandi diberlakukan yang berarti hermeneutika berkaitan erat aspek penerapan.[16]

Pemahaman teks Suci menjadi jalan untuk melihat dan membuka pemikiran-pemikiran baru. Pemahaman menekankan aspek keingintahuan dengan menginterpretasikan sesuai dengan apa yang dimiliki, dilihat, dan diperoleh kemudian. Pemahaman juga membentuk sikap kuriosita terhadap hal-hal yang belum dipahami. Hal ini mengandung konsep pemahaman yang membentuk keterikatan peristiwa historis yang sesuai. Namun hal ini bergantung pada pemahaman konteks. Pemahaman teks-teks Suci akan lebih efektif apabila manusia memahami dalam waktu sekarang, setiap saat, dan berani membandingkan pemikiran lama dengan pemikiran baru. Manusia memahami tidak hanya mengulangi apa yang ditulis tetapi juga membentuk pengertiannya dan persetujuan pengertian serta menganalisis yang sejalan dengan objek tersebut.

3.3 Kelemahan Hermeneutik Hans-Georg Gadamer

Berdasarkan uraian tentang penafsiran kitab suci, Gadamer secara gamblang tidak melihat situasi yang dialami oleh penafsir zaman sekarang. Penafsir tentu mempunyai pandangannya masing-masing tentang arti suatu teks. Dalam hal ini timbulnya unsur subjektivisme penafsiran yang hanya mengandalkan pengetahuan penafsir. Kelemahan-kelemahan hermeneutika Gadamer[17] ialah pertama, penerapan teks-teks suci secara langsung pada masalah-masalah hidup manusia modern bertentangan dengan kenyataan hidup dan Kitab Suci yang bersifat pluralis dan kompleks. Kitab suci yang bersifat pluralistis menekankan adanya pemahaman berbeda. Para penafsir tidak melihat substansi yang ditekankan oleh Kitab Suci. Kedua, penafsiran mengandaikan perspektif historis dan literer dari kitab suci sehingga adanya kontradiksi, ambiguitas dan perbedaan-perbedaan tidak diambil dengan serius. Arti simbolis dari suatu teks diabaikan. Para penafsir cenderung melupakan unsur perbedaan sejarah antara saat penulisan Kitab Suci dan budaya zaman sekarang. Kelemahan ini menyebabkan unsur religiositas terhadap tingkah laku tidak diperhatikan lagi. Selain itu, para penafsir tidak mampu mengaplikasikannya dalam tingkah laku dengan baik sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Ketiga, lemahnya peranan, kreativitas para pengarang terhadap inspirasi kata demi kata. Para pengarang Kitab Suci tidak melibatkan dirinya berada bersama kata-kata sehingga kata yang hendak disampaikan tidak dapat dijelaskan dengan baik. Improvisasi terhadap kata-kata tidak dapat dilakukan. Padahal dengan melakukan improvisasi, kata-kata dapat dimengerti dengan baik oleh para pendengar. Para pendengar pun akan cepat bosan dengan kata-kata yang selalu bernada sama.

IV. Penutup

Bahasa hermeneutika sebagai bahasa pemahaman manusia telah mengambil peran yang sangat penting dalam perkembangan bahasa manusia. Kecenderungan manusia untuk mengerti tentang sesuatu adalah modal baik demi kelancaran berkomunikasi antar sesama manusia. Manusia berusaha untuk mengerti sesuatu yang belum dikenalnya lewat bahasa. Bahasa hermeneutika menurut Hans-Georg Gadamer sebagai pedoman pemahaman yang sangat relevan dengan kenyataan pemahaman manusia. Ia secara tegas pentingnya pemahaman tentang sesuatu yang masih tergambar belum jelas oleh manusia.

Pemahaman Gadamer turut membantu dalam usaha memahami Kitab Suci. Kitab suci sebagai sabda Tuhan tidak serta merta diketahui oleh pembaca. Oleh karena itu ia memerlukan penafsir yang dapat menafsir dengan baik dan sesuai dengan maksud Kitab tersebut. Kitab Suci dapat dipahami lewat berbagai hal, tidak hanya diketahui lewat pemahaman kata-kata tetapi juga dalam tindakan ajakan kitab tersebut. Dengan demikian teks-teks suci dapat dipahami dengan baik lewat bahasa hermeneutika menurut Gadamer.

No comments:

Post a Comment